Demokrasi
menurut DSAI juga harus mempertimbangkan keadilan hak-hak kaum minoritas.
Meskipun Islam mengajarkan ukhuwah Islamiyah, Islam menurutnya juga harus
melingkupi "ukhuwah insaniyah",
atau persaudaraan sesama manusia. Intinya seorang pemimpinnya itu harus
berpikir tentang keadilan untuk semua. Hal ini dirujuk DSAI pada kasus
penunjukan Gubernur Mesir di era Khalifah Ali Bin Abi Thalib, di mana Kalifah
memerintah Gubernur Mesir berbuat adil tanpa melihat perbedaan agama rakyatnya.
Mengapa DSAI
begitu kental berbicara demokrasi? Tentu saja hal itu tak lepas dari sejarah
penderitaan panjang DSAI, yang hidup dari penjara ke penjara. Dia mengungkapkan
bahwa 10 tahun dia di penjara, telah mengajarkan dia tentang makna kebebasan.
"Freedom" sepertinya sudah terpatri dalam kalbunya.
Kita
sekarang melihat bagaimana DSAI memandang keadilan. Menurut DSAI, hidup ini
tidak bermakna jika tidak bermanfaat untuk orang-orang miskin. Pemihakan pada
orang miskin bersifat universal. Ketika dia mengungkapkan pembicaraannya dengan
Jokowi, tentang tenaga kerja Indonesia (TKI), yang masih kurang sejahtera, DSAI
berjanji pada Jokowi bahwa kesejahteraan TKI akan berubah lebih baik di era
dia, yang belum pernah terjadi di era pemerintahan Malaysia sebelum ini. Janji
ini dia sampaikan bukan karena TKI itu
orang Indonesia, tapi lebih karena masalah "humanity". Datuk Anwar
sensitif pada nasib orang miskin. Bahkan dia mengatakan, penderitaan yang dialaminya di penjara, tidak
bermakna jika dibandingkan dengan penderitaan rakyat.
Selanjutnya
DSAI melihat bahwa negara harus meletakkan fungsi "kapital" untuk
kepentingan sosial. Katanya, "kapital" penting untuk menjalankan roda
pembangunan sebuah negara. Namun, menurutnya nasib rakyat jauh lebih penting.
Oleh karenanya, pemimpin beserta seluruh "stake holders" bangsa harus
bersinergi untuk mensejahterakan rakyat. Akumulasi kapital tidak boleh hanya
menguntungkan segelintir orang saja.
Berbicara
tentang kemiskinan, DSAI mengingatkan kita untuk tidak melihatnya dari hanya
sisi statistik
saja. Kemiskinan itu seharusnya dimaknai sebagai
ancaman kemanusiaan, sekecil apapun keberadaannya.
Pemberantasan
kemiskinan harus dimulai dengan peningkatan kualitas pendidikan. Pendidikan
yang dimaksud jangan terjebak pada "Barbarian Specialization", di
mana spesialisasi dicapai melalui pengorbanan sisi humanity dan moralitas.
Harus ada keseimbangan diantara keduanya.
Penutup
Dato' Seri
Anwar Ibrahim telah memberi pencerahan
luar biasa pada tokoh-tokoh Indonesia yang hadir. Ketika seluruh dunia
dihantui oleh kegelisahan dan kegamangan dalam menghadapi ketidakpastian
global, DSAI menyebarkan sikap optimisme yang berbasis pada nilai-nilai agama
dan tanggung jawab kemanusiaan. Seorang pemimpin harus bekerja untuk
memaksimalkan seluruh potensi yang ada untuk kesejahteraan rakyat. Keadilan
sosial harus menjadi kata kuncinya.
Menjadi
pemimpin harus dicapai melalui cara-cara yang beradab. Setelah menjadi pemimpin
harus pula menepati janjinya, merujuk pada "Democratic
Accountability" Fukuyama.
Bagi Bangsa
Indonesia yang akan memilih pemimpin (presiden dan legislatif) dalam waktu yang
tidak lama lagi, sewajarnya dapat menjadikan pikiran-pikiran DSAI ini sebagai
bahan renungan.