Dato' Seri
Anwar Ibrahim (DSAI) memberikan ceramah memukau di hadapan ratusan tokoh-tokoh
yang menyesaki ruangan auditorium Bank Mega, Jakarta tadi siang. Ceramah itu
bertemakan "Leadership", diorganisir oleh Chairul Tanjung atau
CT-Corp. Saya bersama pimpinan KAMI, Gatot Nurmantyo, Professor Hafid Abas, MS
Ka'ban, Bachtiar Chamsyah dan Jumhur Hidayat,
mendapat kesempatan yang amat berharga atas undangan CT Corp.
Mengapa DSAI
memukau? Pertanyaan ini menjadi pembahasan teman-teman KAMI. Kita akan
menguraikan dua hal besar, yakni sosok DSAI dan pikirannya. Sosok ini terlihat
dalam gaya orasinya di podium. Dia benar-benar singa podium. Matanya tajam
seperti singa. Menatap seluruh sudut audiens yang hadir. Bicaranya lugas dan
detail, tidak membiarkan audiens menerka-nerka makna. Dia berusaha pula membuat
bahasa yang kurang dikenal di Malaysia, seperti "oligarki" atau
"konglomerat" di Indonesia, terpahami.
Audiens
ditarik oleh DSAI untuk berinteraksi dengan dirinya, seakan-akan dia tidak
berjarak, dia berbicara tentang manusia
dan nilai-nilai. Dia juga berbicara tentang dirinya, kehidupan pribadinya,
cita-citanya berdasarkan pengalaman hidup yang penuh liku.
Lalu
bagaimana pikiran DSAI? DSAI berbicara tentang 3 hal, yakni Islam, demokrasi
dan keadilan, yang terkait dengan tema kepemimpinan. Dia mengutip banyak tokoh
dan pemikir Islam, seperti Sayyidina Ali, Ibnu Rusdi, Al Ghazali, dll, juga
mengutip Qur'an Surah As-Shaff, dan hadist tentang kepemimpinan. Dari sini
terlihat bahwa DSAI menghubungkan seluruh pemikiran dia pada nilai-nilai Islam.
Bahkan, ketika menyinggung sikap optimisme yang selalu dia miliki, harus
terkait pula dengan Tuhan YME.
Kepemimpinan
menurutnya harus dipertanggung jawabkan di dunia dan di akhirat. Ini sesuai
dengan Hadist Nabi, "Kamu itu adalah pemimpin di muka bumi, tapi akan
dipertanggung jawabkan kelak di akhirat". Pemimpin harus menjadi teladan.
Tidak boleh seorang pemimpin menjanjikan sesuatu, tapi tidak melakukannya. Dia
meyakini bahwa seluruh masalah suatu bangsa, solusinya di mulai dari seorang
pemimpin. Oleh karenanya, kita harus menemukan sosok pemimpin yang baik.
Dalam
melihat Islam, sebagai sebuah ajaran, DSAI mendorong isu "critical
thinking". Umat Islam tidak boleh terjebak dalam taqlik buta. Akal yang
diberikan Tuhan harus digunakan supaya manusia tidak salah menafsirkan ajaran
agama. Inilah keluasan pikiran DSAI ketika melihat seputar kontroversi
pemikiran Ibnu Rusd versus Al-Gahzali, tentang "Incoherence of
Philosophy".
Kita masuk
pada isu demokrasi. Islam menurut DSAI harus percaya pada demokrasi. Pemimpin,
misalnya, harus mendengar suara orang-orang disekitarnya. Juga harus menyerap
aspirasi dan keinginan rakyat. Menjadi pemimpin harus mengikuti proses yang
benar. Dia merujuk pikiran Fukuyama tentang "Democratic
Accountability", yang mengingatkan jangan
melakukan pemilu secara curang. Kalau sudah berkuasa harus
"delivery". Maksudnya, dalam istilah Anwar, sesuaikan perkataan dengan perbuatan.